Kurang dari tiga bulan, maskapai penerbangan terbesar di Indonesia, Lion Air, membawa dunia penerbangan Indonesia dalam dua kutub berbeda. Dari satu ujung bandul ke ujung bandul lainnya.
Kutub pertama berupa warta gembira pada November 2011. Koran New York Times sampai menulis judul, "Boeing Mencatatkan Rekor Penjualan", terkait dengan rekor pembelian pesawat oleh Lion Air. Dunia bertanya-tanya, siapa, sih, Lion Air yang memborong ratusan pesawat Boeing?
Kita ingat betul foto di halaman media nasional dan asing. Disaksikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dengan tersenyum lebar, Presiden Direktur Lion Air Rusdi Kirana menandatangani pembelian 230 Boeing 737-900 ER dan Boeing 737 MAX.
Sebaliknya, Januari-Februari 2012, kabar kelam menerpa dunia penerbangan Indonesia saat dua pilot Lion tertangkap tangan mengonsumsi narkotika. Inilah kutub kedua saat berita buruk dari Lion Air mengudara keliling dunia, dikutip media seperti Daily Mail dan berbagai situs penerbangan dunia.
Seperti biasa, Indonesia hiruk-pikuk oleh pemberitaan bertubi-tubi. Masyarakat yang sering terbang hingga yang tidak pernah terbang mengomentari buruknya penerbangan Indonesia; meski ternyata pesawat Lion Air tetap dipadati penumpang. Pilot yang tertangkap tangan ditengarai mengonsumsi narkotika untuk memenuhi tuntutan gaya hidup. Kalaupun muncul alasan karena retaknya hidup berkeluarga, justru diduga karena ekses negatif gaya hidup tersebut.
Hal ini berbeda dengan kisah pilot-pilot di Amerika yang terlibat kasus narkotika justru karena menyelundupkan ratusan kilogram narkotika.
Dengan dua penangkapan dalam waktu berdekatan, kini republik ini sudah lebih dari sekadar paham soal narkotika yang merasuk hampir memasuki kokpit.
Tentu saja, narkotika juga menghantui berbagai profesi. Tidak hanya pilot, tetapi juga pekerja swasta profesional dan para intelektual. Tidak hanya pilot, tetapi juga pengemudi kendaraan bermotor di jalan raya.
Persoalannya, mengemudikan pesawat adalah sebuah aktivitas nol toleransi terhadap kesalahan apa pun. Seorang pilot yang terdeteksi kolesterol tinggi, misalnya, bahkan dilarang terbang sebab ada ancaman serangan jantung. Larangan serupa jarang dikenakan kepada pengemudi mobil.
Nah, bagaimana ke depannya? Tidak ada cara lain, maskapai mana pun—tidak hanya Lion Air—harus tegas. Gelar tes sesegera mungkin berapa pun mahal harganya. Ada dugaan narkotika juga merasuki pilot dari maskapai lain.
Merujuk kebijakan Federal Aviation Administration, sebaiknya tes tak hanya bagi pilot, tetapi juga inspektur, awak kabin, petugas penanganan di darat, hingga pengatur lalu lintas udara. Tidak hanya tes narkotika, tetapi juga alkohol.
Di Indonesia, pada jajaran direktur di tiap maskapai penerbangan juga dipastikan ada pilot. Dengan demikian, meski diragukan ada pengakuan dari pilot bahwa dirinya mengonsumsi narkotika, seharusnya manajemen peka dengan persoalan ini. Jangan abaikan tiap rumor dan kabar burung!
Apabila ditemukan, langsung pecat tanpa ampun. Sekali lagi, tanpa ampun! Nyawa ratusan orang dipertaruhkan. Andai pesawat keluar jalur, ribuan orang dapat tewas saat pesawat jatuh di tengah kota. Dengan citra negatif dari pilot Indonesia, ketika dibukanya kebijakan Open Sky di Asia Tenggara tahun 2015, tentu saja itu akan menguntungkan maskapai penerbangan asing.
Jadi, adanya pilot yang mengonsumsi narkotika ini benar-benar urusan serius. Pertama, urusan nyawa. Kedua, soal ketahanan bisnis penerbangan. Tanpa upaya perbaikan total, pertumbuhan penumpang sebesar 20 persen per tahun akan dicaplok maskapai penerbangan asing.
(Kompas)
Jumat, 10 Februari 2012
Pecat Pilot Bermasalah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar