"Good morning mister! Hello mister!" Itu sapaan anak-anak sekolah dan penduduk saat kami melintasi jalur sepanjang jalan dari Palopo menuju Wotu, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Kami balas sapaan itu dengan lambaian atau teriakan dan berderailah tawa mereka.
Keakraban kecil itu menjadi penghiburan tersendiri ditengah panjangnya jalur yang kami tempuh hari ini.
Karena hari sebelumnya kami terpaksa menginap di Palopo, maka hari ini sedikit kerja keras untuk menyesuaikan dengan rencana perjalanan. Jalur Palopo-Wotu-Mangkutana sepanjang 148 kilometer harus bisa diselesaikan hari ini.
Perjalanan hari ini justru membuka penglihatan kami pada potensi besar jalur ini sebagai jalur wisata khusus touring bersepeda. Penduduk rupanya cukup terbiasa melihat dan menyapa kelompok pesepeda orang asing yang ternyata pernah sering melintasi daerah ini.
"Dulu cukup sering rombongan orang asing bersepeda seperti kita (kamu) ini lewat. Mereka mampir kemari untuk minum kopi sebelum lanjut ke Mangkutana lalu ke Pendolo menikmati Danau Poso," tutur ibu pemilik penginapan dan warung makan Murni di kota Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara.
Rombongan seperti itu menghilang setelah pecah kerusuhan berdarah di Poso tahun 2002. Jalur wisata bersepeda jarak jauh itu pun seperti terlupakan.
Deviano Oktavianus, penggiat touring yang berjalan bersama saya mengatakan, jalur Palopo-Ampana sepanjang 500-an kilometer itu memang kelas dunia. Jalur itu pernah sangat populer di kalangan petouring mancanegara antara lain karena ada yang memperkenalkannya.
"Saya lupa namanya tapi dia orang Australia yang pernah lama di Indonesia. Paket touring empat hari dijual seharga 5.000 dolar AS dan banyak peminatnya," tutur Devin yang sempat ber-email dengan orang Australia yang dimaksud.
Hal senada diungkapkan legenda touring Indonesia, Bambang Hertadi Mas alias Paimo, sebelum saya berangkat ke Sulawesi dengan dukungan PT Mud King Asia Pasifik Raya dan PT Bajau Escorindo.
Paimo mengatakan, beberapa temannya petouring Jerman dan Belanda memuji jalur tersebut sebagai jalur eksotis di Garis Wallacea. "Mereka sangat terkesan dengan jalur itu. Seorang teman dari Jerman yang melintas sendiri di jalur Poso-Ampana begitu kagum dengan hutan dan sabana di daerah Ampana," tuturnya.
Kami yang mencicipi bagian awal jalur itu, Kamis (8/3/2012) merasakan sendiri pesonanya. Jalan aspal relatif mulus tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Meski begitu kami tetap harus waspada karena semua kendaraan melaju kencang. Jalan relatif landai dan tidak ada tanjakan berat yang merajam dengkul.
Kami melalui perkampungan penduduk, persawahan, kebun durian, kelapa sawit, dan nipah. Sisa-sisa kebun kakao juga terselip diantara permukiman penduduk. Kabupaten Luwu Utara sedang musim durian. Sepanjang jalan terutama dari desa Buangin sampai Sabbang lapak durian berjejer di pinggiran jalan. Lalu lalang mobil pick up dan sepeda motor yang mengangkut durian begitu sering melintas.
Durian sini relatif kecil namun bonggol buah banyak dan dagingnya manis. Buah itu dijual Rp 15.000 per tiga buah yang diikat tali rotan. Musim durian berlangsung Februari sampai Mei. Jadi ini memang saat yang tepat bagi penggemar durian.
Kebun durian tersebar di sepanjang perjalanan mulai dari Desa Walanreng di Kabupaten Luwu Utara sampai ke Wotu di Kabupaten Luwu Timur. Durian yang melimpah dari wilayah ini dikirim hingga ke Makassar dan kota-kota besar di Sulsel dan Sulteng. Sayangnya, penganan olahan dari durian tidak tampak dikembangkan masyarakat. Setidaknya seperti yang terlihat di toko-toko penganan dan penjual durian di sepanjang jalan.
Buah lain yang juga sedang panen saat ini diantaranya rambutan, duku, langsat, pepaya, dan semangka.
Palopo-Pendolo
Idealnya, jalur Palopo-Ampana bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama Palopo-Pendolo (pinggiran Danau Poso) sepanjang 250 km bisa ditempuh dalam dua etape atau dua hari bersepeda. Pesepeda bisa menginap di Mangkutana yang berjarak 148 km dari Palopo. Jika jarak tidak tercapai, bisa menginap di Bone-Bone yang berjarak 91 km dari Palopo.
Penginapan Murni jadi tempat yang cukup layak untuk transit. Fasilitasnya sederhana namun cukup bersih. Kalau bosan dengan kamar mandi biasa, tinggal nyebur ke sungai berair jernih yang mengalir dekat penginapan. Di belakang penginapan berdiri deretan pegunungan yang diselimuti awan. Diantara Bone-Bone-Mangkutana terdapat sejumlah lokasi wisata pantai dan goa.
Waktu istirahat sehari di Bone-Bone atau Mangkutana bisa digunakan untuk memulihkan tenaga. Sebab keesokan harinya harus menghadapi perjalanan berat menuju Pendolo melintasi puncak bukit berketinggian 1.300 meter diatas permukaan laut dengan panjang jalur sekitar 50 kilometer.
Devin mengatakan, jalan Trans Sulawesi ruas Palopo-Masamba-Mangkutana-Pendolo-Pamona Utara-Ampana sepanjang 450km memang potensi besar bagi wisata khusus turing bersepeda. Sayang jika potensi itu tidak dikembangkan lebih lanjut untuk mengangkat perekonomian masyarakat setempat dan negara.
Potensi itu bisa dikembangkan dengan kerja sama lintas sektoral. Pertama, masalah keamanan wilayah dibenahi. Selanjutnya fasilitas umum seperti tempat makan, penginapan juga dipersiapkan. "Libatkan masyarakat setempat misalnya untuk membuka warung makan atau penginapan dan menjalin kerjasama dengan operator. Itu langkah ke depan," tuturnya.
Langkah penting lainnya adalah mulai memperkenalkan kembali kepada masyarakat, khususnya pesepeda. Masyarakat setempat juga perlu digugah untuk menyiapkan diri. "Kalau ada kemauan dari semua pihak pasti bisa," tuturnya.
(Max Agung Pribadi - kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar