Kecamatan Doi Tung, Chiang Rai, di Thailand Utara kini menjadi salah satu kawasan wisata membanggakan. Industri tenun, kertas, perkebunan, dan pengolahan kopi, kacang macadamia, serta produk kerajinan yang dikerjakan sentuhan tangan ribuan warga Doi Tung, terjual laris di hotel-hotel, di acara-acara festival, dan di kawasan wisata alam yang menjamur di perbukitan.
Para disainer asing bahkan mengusung pakaian berkain tenun Doi Tung dalam sejumlah fesyen internasional seperti pada satu fesyen di Berlin, Jerman dan di Milan, Italia tahun 2007. Kegiatan ini membuktikan, produk tenun Doi Tung mendunia.
Padahal, sebelumnya Doi Tung cuma dikenal sebagai ladang candu, bagian dari ladang pemasok candu terbesar di dunia yang dikenal sebagai bagian dari kawasan Segi Tiga Emas yang terletak di perbatasan Thailand, Myanmar, dan Laos.
Kawasan seluas 150 kilometer persegi itu sejak akhir 1900-an sudah dikenal sebagai ladang candu dan mulai tumbuh pesat setelah perang dunia kedua. Candu dibawa ke Kamboja masuk Thailand dan Vietnam, lalu diekspor.
"Kami dulu miskin. Air pun sulit didapat. Tak ada kendaraan bermotor bisa sampai ke kampung kami yang terpencil. Tak ada sekolah, yang ada hanya jalan setapak," kata Cham Nam (63) kepada sejumlah wartawan di satu restoran di tepian bukit di kawasan Doi Tung, Selasa (14/2/2012) lalu.
Sejak usianya masih belasan, Cham Nam, warga Doi Tung itu, sudah menyandu. Sesekali ia ikut menanam candu. Temannya, Atu (58), dari suku Akha, bahkan menjadi petani candu sejak usia 14 tahun. Demikian pula Cemyang (88) yang pernah selama 30 tahun menyandu opium.
"Candu sudah menjadi bagian dari tradisi orang-orang miskin seperti kami kala itu," kata Cham Nam.
Buat warga pegunungan seperti Cham Nam, Atu, dan Chemyang, menanam candu menjadi satu-satunya harapan menyambung hidup. Candu yang mereka hasilkan dibeli oleh kaki tangan Khun Sa, seorang jenderal negara bagian Shan, Myanmar, yang mengendalikan perdagangan candu di Kawasan Segi Tiga Emas sejak 1972.
Kata Atu, hampir setiap hari sang jenderal naik kuda menyapa para petani. "Dia tidak memaksa. Kami menjual kepadanya secara sukarela. Kami pikir, dialah satu-satunya harapan kami waktu itu," kata Atu.
Model investasi
Sejak tahun 1989, bersama ribuan warga miskin lainnya, warga yang berasal dari enam suku ini menjadi petani dan pengolah kopi serta kacang macadamia yang dikelola Perusahaan Navuti. Perusahaan ini didirikan dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR/Corporate Social Responsibility) dari sejumlah perusahaan swasta di Thailand yang menjadi bagian dari Proyek Pengembangan Doi Tung yang dikelola Yayasan Mae Fah Luang (MFLF/Mae Fah Luang Foundation).
Usaha ini kemudian menjadi model investasi yang mengembangkan usaha sambil memperbaiki dan melestarikan lingkungan serta memberdayakan warga setempat.
Ketika warga masih menanam opium, penanaman dilakukan secara berpindah-pindah. Hal itu membuat hutan di kawasan perbukitan gundul.
Kawasan tersebut pulih setelah warga di bawah bimbingan MFLF menghijaukan kembali lahan yang gundul dengan berbagai tanaman produktif, terutama tanaman kopi dan kacang macadamia.
"Dulu pendapatan kami sebagai petani candu cuma 5.000 baht (setara Rp 1,5 juta) setahun. Kini, setelah kami menjadi petani dan pengolah kopi dan kacang macadamia, pendapatan kami setahun 307.000 baht (setara Rp 92,1 juta)," kata Atu.
Untuk menutup kekurangan pendapatan yang cuma 5.000 baht setahun, lanjut Cham Nam, dulu banyak orangtua menjual anak gadisnya untuk menjadi pekerja seks komersial di tempat hiburan malam, terutama di Bangkok.
Gadis-gadis asal pegunungan di Thailand seperti di Doi Tung memang dikenal berparas cantik, cepat beradaptasi dan pandai bergaul. Mereka berbadan ideal Asia, dan berkulit kuning terang.
Apa yang disampaikan kedua mantan pecandu dan petani candu itu dibenarkan Manajer Senior Program MFLF, Ramrada Ninnad. "Candu dan prostitusi. Hanya itu harapan mereka untuk hidup," tuturnya.
Bertahap
Pengembangan Proyek Doi Tung dilakukan secara bertahap. Proyek yang dipelopori mendiang Somdej Phra Srinagarindra Boromajajajonani, Ibunda Raja Thailand Bhumibol Adulyadej ini, mulai dilakukan tahun 1988. Awalnya, ibunda raja yang akrab dipanggil sebagai Sangwan atau Puteri Sangwan itu datang ke Doi Tung tahun 1987 dengan helikopter.
Perempuan yang lahir tanggal 21 Oktober 1900 itu datang dengan helikopter karena saat itu hanya ada jalan setapak nan terjal menuju kawasan perbukitan Doi Tung. Kedatangannya dengan helikopter itulah yang membuat Puteri Sangwan dijuluki sebagai ibu suri raja yang datang dari langit atau Mae Fah Luang. Nama ini kemudian diabadikan dalam yayasan yang ia dirikan, MFLF.
Langkah pertama yang dilakukan Puteri Sangwan adalah menyehatkan warga dengan program seribu hari yang diikuti 1000 warga pecandu berat. Selama masa tersebut, warga dilatih tidak lagi menyandu.
Setelah sebagian besar warga mengikuti program itu, Puteri Sangwan melakukan program berikutnya, mengajak warga menanam tanaman kopi dan kacang macademia, menggantikan tanaman candu. Selama tanaman produktif belum menghasilkan, warga mendapat uang dan subsidi pangan.
Dengan biaya dan pendampingan MFLF, warga membuat sumur sumur dan jaringan air minum serta jalan jalan desa. Setahap demi setahap, jaringan listrik pun dibangun.
Sambil menunggu panen, mereka dilatih mengolah biji kopi dan kacang macademia sebagai produk unggulan Doi Tung. Sebagian warga lainnya dilatih menenun dengan alat bukan mesin, membuat kertas dan kerajinan kertas, membuat kerajinan keramik dan berbagai bentuk kerajinan lain.
Sentra-sentra kerajinan, produk kopi, dan kacang macademia dibangun. Warung-warung dan tempat penginapan kecil didirikan sebagai sarana menjual produk. Saat panen pertama tiba, Handicraft and Cottage Industry yang disiapkan MFLF, mulai beroperasi.
Tak ingin proyeknya gagal, Puteri Sangwan yang awalnya tinggal di tenda, membangun rumah. Dari rumah yang kini dikenal sebagai Vila Mae Fah Luang itu, ia mengikuti perkembangan warga minoritas miskin ini.
Di halaman rumahnya yang luas, terhampar beratus jenis bunga yang juga ditanam warga Doi Tung dan menjadi industri baru di Doi Tung. Melihat antusias warga terhadap proyek yang ia kembangkan, Puteri Sangwan lalu membangun taman seribu bunga, Taman Mae Fah Luang yang kini menjadi salah satu destinasi wisata selain menjadi sentra pembibitan tanaman hias. Selain itu, ia juga membangun rumah inspirasi untuk kepentingan pengembangan Doi Tung.
Apa hasilnya setelah proyek padat karya tersebut berjalan 15 tahun? Pendapatan 11.000 warga naik delapan kali lipat. Usia warga bertambah panjang, sementara angka kelahiran merosot. Para gadis Doi Tung pun menjadi lebih suka menenun atau membuat kerajinan di kampung halamannya ketimbang menjadi pekerja seks komersial.
Kebangkitan Doi Tung membuat pamor Chiang Rai sebagai kawasan wisata makin berbinar. Para orangtua pun memilih mendidik anak-anak mereka di Chiang Rai, lebih-lebih setelah pemerintah membangun Universitas Mae Fah Luang tahun 1999 di Doi Ngaem, Muang.
Myanmar, dan Afghanistan
Sukses Puteri Sangwan dan MFLF-nya membuat negeri tetangganya, Myanmar, tertarik dan meminta mereka melakukan hal serupa di kawasan ladang candu di Yong Kha. Yong Kha adalah salah satu daerah di bekas Negara Bagian Shan yang pernah dikendalikan Jenderal Khun Sa. Setelah Doi Tung tak lagi menjadi penghasil candu, Myanmar menjadi pemasok candu kedua terbesar di dunia setelah Afghanistan.
Tahun 2002, proyek digulirkan. Sebanyak 9.374 penduduk 16 desa mendapat bimbingan dan bantuan. Pusat-pusat kesehatan dan pelatihan pun dibangun. Jaringan irigasi, bendungan, sentra biogas untuk kebutuhan rumah tangga dibangun.
Warga mulai menanam palawija dan beternak kambing menggantikan usaha ladang candu mereka. Bank-bank perkreditan rakyatpun dibuka.
Dalam waktu tiga tahun, pendapatan warga per tahun naik berkali lipat menjadi 117 dollar AS. Penyakit malaria, TBC, dan busung lapar, hilang dari bumi Yong Kha.
Afghanistan pun tertarik mengikuti jejak Myanmar. Sebagian Afghanistan, Pakistan, dan Iran dikenal sebagai Kawasan Bulan Sabit - kawasan candu terbesar setelah Kawasan Segi Tiga Emas. Tahun 2002 Afghanistan bahkan menjadi negara pemasok candu terbesar di dunia. Tahun 2006 negeri ini menghasilkan 6.100 metrik ton candu atau 92 persen dari candu yang beredar di dunia.
Pada tahun itulah pemerintah Afghanistan dan MFLF mengembangkan bank domba di Provinsi Balkh. Penduduk 15 desa di Dehdadi dan Nar-e-Shah memilih memelihara dan berbisnis domba karena secara turun temurun, warga sudah memiliki kemampuan beternak dan berbisnis domba.
Dari peternakan domba, mereka bisa menjual susu, keju, yogurt, daging, produk kerajinan wol, kulit, dan karpet. Tahun 2011, setiap kepala keluarga telah memiliki aset usaha senilai 860 dollar AS.
Proyek pengembangan ini berlangsung hingga tahun 2012. Setelah tahun itu, desa-desa yang sukses secara berantai mengadakan pelatihan dan bantuan keuangan lewat sistem koperasi simpan pinjam ke desa-desa yang masih tertinggal.
Giliran Indonesia
Sejak Sabtu (12/2), selama lima hari, Badan Narkotika Nasional (BNN) mengunjungi sejumlah lokasi proyek yang dikembangkan MFLF di Chiang Rai. Selain Direktur Narkotika Alami BNN, Brigjen (Pol) Benny Joshua Mamoto dan jajarannya, Direktur Narkoba Polda Aceh Komisaris Besar Dedy Setyo, dan Wakil Bupati Mandailing Natal Sumatera Utara Dahlan Hasan Nasution juga ikut.
Mereka ingin mengubah kawasan ladang ganja terbesar di dunia yang berada di Aceh -terutama di Lamteuba, Aceh Besar, dan Sumatera Utara- terutama di Mandailing Natal seperti MFLF mengubah ladang candu Doi Tung menjadi kawasan yang lebih makmur untuk warga sekitar.
"Sebenarnya kami sudah memiliki modal seperti dimiliki Doi Tung. Kami punya kopi, kain tenun ulos dan kawasan yang berpotensi besar menjadi kawasan wisata alam di Mandailing Natal. Yang kami tunggu tinggal kemauan politik pemerintah pusat, serta sarana dan prasarana seperti disiapkan MFLF," tutur Dahlan.
Hal serupa disampaikan Dedy. "Selama ini jumlah polisi, sarana dan prasarana kerja polisi masih sangat terbatas untuk menekan perluasan ladang ganja di kawasan pedalaman. Apa yang ditempuh MFLF selain mengandaikan jumlah polisi yang lebih banyak dan lebih baik, juga mengandaikan koordinasi antar instansi," ujarnya. Meski demikian ia pun optimis, proyek ini bisa berhasil bila disiapkan matang sesuai arahan MFLF.
Ia memperkirakan, saat ini Aceh masih menjadi produsen ganja terbesar di dunia. "Kalau Meksiko, Amerika Latin, mengklaim menjadi produsen ganja setelah berhasil menemukan 120 hektar ladang ganja, maka dalam operasi bersama antara Polda Aceh dan BNN tahun 2011, kami menemukan 154 hektar ladang ganja di Aceh dan menyita ganja 222 ton senilai Rp 556 miliar dengan asumsi harga ganja perkilogram di Jakarta Rp 2,5 juta," ungkapnya.
Ia memastikan, sedikitnya ada 50 hektar ladang ganja di setiap kabupaten di Aceh. Aceh memiliki 21 kabupaten. "Dalam Operasi Antik I dan Antik II tahun 2011 oleh Polda Aceh, kami menemukan 100 hektar ladang ganja di Aceh," ujar Dedy.
Tentang rencana pengembangan proyek seperti dilakukan MFLF, Benny pun optimis. Meski demikian ia juga melihat sejumlah hambatan yang bakal ditemui.
"Saya kira hal termahal dari proyek ini nanti adalah koordinasi antar instansi. Peluang korupsi, dan memudarnya semangat mendampingi warga, menjadi hambatan besar yang bakal menghadang. Untuk membangun koordinasi dan menyingkirkan hambatan besar itu, kata kuncinya adalah komunikasi dan kepercayaan," ucapnya.
Mampukah mereka bersama warga mengubah Lamteuba, Aceh Besar dan Mandailing Natal seperti Puteri Songwan dan MFLF-nya mengubah Doi Tung? Jika Myanmar dan Afghanistan bisa, Indonesia seharusnya bisa.
Sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar