Pesawat Airbus A380. AP/Remy de la Mauviniere
Kejadian kebocoran pressurized cabin hingga kini masih sering dijumpai baik dalam penerbangan sipil maupun militer. Menurut Dr. dr. Wawan Mulyawan, SpBS, AAK., risiko akibat terjadinya perubahan tekanan udara normal (normobarik) menjadi tekanan udara rendah (hipobarik) bisa menyebabkan decompression sickness (gangguan tubuh akibat perbedaan tekanan udara di luar dan di dalam tubuh) serta kekurangan oksigen yang disebut hipoksia hipobarik.
Bila situasi ini terjadi pada pilot, gangguan ini bisa menyebabkan berkurangnya oksigen ke otak secara fatal dan bisa mengawali kecelakaan pesawat yang tragis. "Tapi kalau pilotnya sudah dilatih, dia tidak mudah pingsan. Buat pilot hitungan detik sangat penting. Dia bisa ambil keputusan untuk menurunkan ketinggian pesawat atau segera mencari alternatif pendaratan darurat," kata Wawan usai mempertahankan disertasi doktoralnya berjudul "Analisis Respons Adaptasi Jaringan Otak Paska Induksi Hipoksia Hipobarik Intermitten pada Tikus: Kajian Khusus terhadap Ekspresi Hypoxia-Inducible Factor-1?" di Aula Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Selasa, pekan lalu.
Melalui penelitiannya, Wawan yang juga seorang tentara di TNI AU berpangkat letnal kolonel membuktikan pentingnya latihan hipoksia hipobarik melalui tikus putih Sprague Dawley. Hasil yang didapatkan adalah latihan hipoksia yang terkendali dan berulang-ulang (intermitten) akan meningkatkan ketahanan otak dari kekurangan oksigen yang berat dan fatal. "Terdapat perbedaan ketahanan yang signifikan antara binatang percobaan yang diberi latihan hipoksia dan yang tidak," ujar dokter spesialis bedah saraf ini.
Ini untuk memberikan ketahanan pada pilot yang sering terbang dengan durasi waktu lama (long haul air travel) dan frekuensi per tahunnya yang sangat tinggi. Jadi bila terjadi keadaan darurat hipoksia, pilot mempunyai kemampuan untuk bertahan dan mengambil keputusan yang tepat.
Selain dengan latihan, ketahanan seseorang pada kondisi hipoksia hipobarik juga dipengaruhi secara genetis. Wawan membandingkan orang yang tinggal tahunan di pegunungan Himalaya dan Andes. Ternyata orang yang tinggal di Andes tetap saja suka mabuk, mengalami mountain sickness, serta gampang pusing saat mengalami hipoksia. "Padahal mereka sudah tahunan di situ. Kenapa? Orang ini secara genetik lebih lemah," ujar Wawan.
Sumber : tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar